“Dasar bandel! Dasar anak nakal!
Sudah dibilangi kalau minta susu ya diminum, dihabisin. Nggak malah ditumpahkan
ke lantai seperti itu! Susu itu mahal!” Seorang ibu uring-uringan memarahi
Fifi, anaknya yang baru berusia 3 tahun. Bagaimana ia tidak jengkel, bila
lantai yang baru saja dipel kini kotor lagi oleh tumpahan susu si kecil. Si
kecil pun diam sambil menatap wajah ibunya yang kecapekan.
Sementara seorang ayah memarahi Latif, anaknya yang kelas satu SD, setelah
dilapori wali kelasnya bahwa anaknya itu ketahuan mencuri uang temannya.
“Kecil-kecil sudah jadi pencuri! Mau jadi apa kamu kalau besar nanti?” Katanya
sambil berkacak pinggang.
Memang, mendidik anak memerlukan kesabaran ekstra. Ada kalanya orang tua
kehilangan kontrol saat kondisi fisiknya lelah atau emosinya tidak stabil.
Kata-kata makian terhadap anak seperti bandel, nakal, badung, dan sebagainya,
seringkali meluncur tanpa dapat ditahan. Padahal, makian atau celaan seperti
itu akan sangat menjatuhkan harga diri anak dan berakibat buruk bagi perkembangannya.
Mencerca Pribadi Hancurkan Harga Diri
Dalam masa perkembangannya semenjak lahir, setiap anak belajar menilai
segala sesuatu. Begitu juga yang terjadi pada persoalan penilaian diri. Setiap
anak akan menilai dan memandang seperti apa keadaan dirinya sendiri sesuai
dengan cara pandang orang tuanya terhadap diri si anak.
Apabila pribadinya sering dicerca dengan julukan-julukan buruk seperti anak
nakal, bengal, tak tahu aturan, pencuri, bodoh, pemalas, dan sejenisnya, maka
akan terbentuk keyakinan dalam diri anak bahwa memang seperti itulah sebenarnya
taraf kepribadiannya. Selanjutnya ia akan merasa wajar jika berbuat nakal, toh
ayah ibu menyebutnya ‘anak nakal’.
Perkembangan buruk seperti ini bila diteruskan akan sampai pada tahap di
mana anak akan selalu berusaha berperilaku sesuai anggapan terhadap
kepribadiannya tersebut, sehingga ia akan merasa tak pantas jika berbuat baik,
yang notabene menyalahi keyakinannya sebagai anak nakal dan bengal tersebut.
Sampai tahap ini perilaku anak bisa jadi sangat membuat orang dewasa
terheran-heran, sebab ia sudah tak mempan lagi diberi nasihat dan motivasi
untuk mau berbuat baik, kecuali jika perbaikan dimulai dengan mengubah cara
pandangnya yang keliru dalam menghargai pribadinya sendiri. Sungguh ini sebuah
perbaikan yang sulit untuk dilakukan.
Begitulah kenyataannya, bahwa setiap orang membentuk kepribadian sesuai
dengan cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Itu sebabnya, akan sangat
fatal akibatnya jika dalam masa perkembangan anak diberi contoh untuk menilai
dirinya dengan sebutan dan panggilan yang buruk.
Anak tetap anak, sekalipun perilakunya buruk. Yang buruk adalah
perilakunya, sementara pelakunya tetaplah anak baik. Jika patut dibenci, maka
perilakunya yang harus dikutuk, bukan pelakunya. Sang anak sebagai pelaku tetap
berhak untuk dicintai, disayangi, dan dihargai.
Jika Anak Salah, Tegur Perilakunya
Ketika seorang anak berbuat kesalahan, orang tua harus menegur ‘perilaku’
tersebut, tanpa mencela pelakunya. Anak harus mengerti letak kesalahannya. Ia
harus mengerti betul bahwa orang tuanya marah, kecewa dan membenci perilaku
yang baru saja dilakukannya, bukan marah dan membencinya.
Agar anak tahu bahwa orang tuanya tidak menyukai perilakunya, maka
sebaiknya orang tua menunjukkan perasaan kecewa, marah dan ketidaksukaannya
dengan sejelas-jelasnya. Bisa dengan mimik wajah yang penuh emosi, bisa pula
dengan kata-kata yang keras.
Kembali pada kedua contoh kasus di awal tulisan ini, untuk Fifi yang
menumpahkan susunya, akan lebih baik bila ibu marah dengan menegur perilakunya.
“Fifi, sudah ibu bilangi berkali-kali kalau menumpahkan susu itu jelek! Itu
perbuatan mubadzir! Susu itu harganya mahal!”
Sedangkan untuk kasus Latif, akan lebih baik bila ayah tidak menyebutnya
sebagai pencuri. “Latif, kamu kan tahu mencuri itu perbuatan buruk? Dosa!
Kenapa kamu melakukannya? Kalau butuh uang, bilang sama ayah, jangan mencuri
milik orang lain!”
Kedua contoh tersebut sudah dapat menggambarkan dengan jelas apa yang
dirasakan oleh ayah dan ibu. Tujuannya agar anak mengerti perasaan orang tua
tentang perilaku anak yang buruk itu. Di sisi lain diharapkan dalam diri anak
sendiri akan timbul perasaan yang tidak enak menghadapi kemarahan orang tuanya.
Cukup Sekali Saja
Teguran orang tua cukup dinyatakan sekali saja, anak sudah bisa memahami
perasaan orang tuanya. Bila pernyataan ini diulang-ulang justru akan
menimbulkan kebosanan, dan anak merasa digurui. Cara mendisiplinkan anak
seperti itu tidak efisien.
Banyak orang tua yang merasa perlu memberi nasihat panjang lebar terhadap
kesalahan anaknya, karena menangkap kesan anak tidak mendengar nasihat yang
dikatakan orang tua. Anak-anak itu berbuat seenaknya, tak mendengar omelan
orang tua. Tingkah anak itu membuat orang tua jengkel dan merangsangnya untuk
semakin memperpanjang dan mengulang-ulang nasihat, semata-mata untuk
melampiaskan kejengkelannya.
Sekali lagi, sikap orang tua sebenarnya cukup dinyatakan sekali, ditunjang
ekspresi wajah tak lebih dari satu menit. Inilah bagian awal dari metode
disiplin yang disebut teguran satu menit. Selanjutnya, akan tercipta suasana
yang tidak menyenangkan bagi anak. Pada saat ini sebaiknya orang tua diam
sejenak agar suasana yang tidak enak ini benar-benar dirasakan anak. Manfaatkan
waktu ini untuk menarik nafas panjang, seakan telah usai menyelesaikan tugas
berat berupa pengungkapan rasa kecewa atas perilaku anak yang buruk.
Selanjutnya, Hargai Pelakunya
Bagian berikutnya adalah saatnya menggunakan kebenaran lain selain
kebenaran pertama yang telah dikatakan terlebih dahulu. Kebenaran kedua ini
adalah bahwa diri anak-anak sebagai ‘pelaku’ sebenarnya tetap baik, bahwa orang
tua tetap mencintai sepenuh hati, karena mereka pada dasarnya adalah anak-anak
yang salih.
Bagian kedua ini harus diucapkan orang tua dengan ekspresi wajah penuh
kasih sayang dan kelembutan. Bila perlu dengan memeluk dan mencium, agar anak
bisa langsung merasakan bahwa bagaimanapun buruknya perilaku mereka, ternyata
orang tua tetap mencintainya. Pernyataan ini pun tidak perlu diulang, cukup
sekali saja.
Misalnya, untuk kasus Fifi, setelah ibu marah dan menegur perilakunya yang
buruk, maka sebaiknya ibu membelai kepalanya sambil berkata, “Fifi kan anak
salihah, anak pintar. Lain kali jangan menumpahkan susu lagi ya sayang…”
Demikian juga untuk kasus Latif. Setelah ayah menunjukkan kemarahannya,
alangkah bijaksananya bila kemudian ia memeluk anaknya itu seraya berkata,
“Latif kan anak yang salih…Masa’ anak salih mencuri, nanti jadi temannya setan.
Lain kali jangan diulangi lagi ya….”
Kelebihan Metode Ini
Metode teguran satu menit mempunyai banyak kelebihan.
Pertama, melatih disiplin anak-anak untuk bisa meninggalkan perilaku yang
buruk. Dalam setengah menit yang pertama, anak mengerti bahwa tindakannya yang
buruk telah membuat orang tuanya kecewa dan marah. Peristiwa itu akan masuk ke
alam memorinya, selanjutnya memorinya mencatat mana perilaku baik yang
disenangi orang tua, dan mana perilaku buruk yang membuat orang tuanya kecewa
dan marah.
Selanjutnya, dalam setengah menit kedua, anak segera dapat menemukan
kembali citra dirinya yang positif sebagai anak yang baik. Mereka sangat
menikmati belai kasih orang tua dalam selang waktu yang singkat ini. Buahnya,
mereka menjadi senang dan bagga terhadap dirinya sendiri yang baik seperti kata
orang tuanya.
Satu hal penting yang tak boleh dilupakan orang tua adalah semakin anak
menyenangi dirinya sendiri, semakin besar kemauannya untuk berperilaku lebih
baik.
Keuntungan kedua, metode ini bisa digunakan sebagai alat komunikasi yang
efektif antara orang tua dan anak. Banyak orang tua mengeluh karena tak bisa
memahami jalan pikiran anaknya. Banyak yang tak mengenal anaknya sendiri karena
kemacetan komunikasi. Anak tak pernah mau menyampaikan permasalahan yang ia
hadapi kepada orang tua. Dengan bantuan metode ini, sedikit demi sedikit mulai
berkembang iklim keterbukaan antara orang tua dengan anak. Komunikasi pun
menjadi lancar, akrab dan harmonis. Hal ini bisa terjadi karena keberanian
orang tua menunjukkan perasaan terhadap anak tanpa mencerca. Dalam setengah
menit pertama menyalahkan habis-habisan perilaku anak yang buruk. Tetapi
setelah itu menyatakan bahwa diri pribadi anak selalu tetap baik dan dicintai
orang tua.
Memang dalam praktiknya metode ini agak sulit dilakukan, karena orang tua
seolah-olah harus ‘bersandiwara’. Setelah marah-marah harus mengungkapkan rasa
sayang. Yang pasti, walaupun sulit, tetapi demi perkembangan jiwa anak, tentu
metode ini layak untuk dibiasakan...